Kontak




Rum Raisin Chocolate Ice Cream (Cerpen Eka Ayu)



“Aku hanya selalu membiarkannya meleleh di mulutku, aku tidak pernah membiarkan seorang pun melelehkannya, hingga saat itu seseorang melelehkannya dengan paksa”.
            Namaku Gania, banyak orang bilang aku sederhana, mempunyai aura anggun seorang perempuan klasik. Begitupun dalam tenggang waktu hidupku selama 20 tahun ini, sejak aku tumbuh menjadi seorang gadis remaja; aku sangat sederhana, tidak macam-macam. Dan aku pikir kesederhanaanku berpengaruh pada seleraku terhadap sesuatu. Aku sangat suka makan ice cream, vanilla ice cream tanpa topping apapun; sangat sederhana untuk era dimana ice cream sudah bisa disajikan dalam berbagai macam rasa. Tapi begitulah aku, sangat cukup dengan merasakan sensasi manis dan dingin dimulut yang disajikan dari sekotak vanilla ice cream. Menggambarkan aku yang cenderung menghindari sesuatu yang tidak biasa aku hadapi. Tidak ingin merasakan rasa yang lain.
            Sudah sejak aku berumur 5 tahun, orang tuaku sering mengajakku datang ke kedai ice cream yang terkenal di kompleks perumahan ini. Dan ketika beranjak remaja, aku punya jadwal tersendiri untuk melahap ice cream favoritku, hampir setiap jam 5 sore aku menyempatkan datang ke kedai ice cream langgananku ini hanya untuk melelehkan dan merasakan manisnya vanilla ice cream di 

mulutku. Hanya itu yang selalu aku pesan dan para pelayan sudah tau itu. Dan aku selalu duduk di tempat yang sama, di lantai atas, di pojok dekat jendela yang sangat besar itu agar aku bisa melihat pemandangan di luar kedai. Pemilik kedai sangat berbaik hati untuk menyediakan tempat itu setiap kali aku datang. Aku merasa begitu spesial dan nyaman di tempat itu J.

            Hingga suatu hari selera di lidahku berubah karena kehadiran seorang laki-laki yang dalam beberapa waktu selalu duduk di tempat favoritku di kedai itu. Saat itu kita berdua selalu duduk di tempat yang sama tanpa ada satu pun kata yang keluar dari mulut masing-masing. Dan itu berlangsung cukup lama. Sebelumnya aku tidak pernah menarik ataupun tertarik untuk mengetahui dunia laki-laki secara intens. Karena aku pikir dengan lebih tau dan mengerti tentang duniaku sendiri itu cukup. Tetapi laki-laki itu datang dengan sesuatu yang lain. Dia memahami duniaku lebih dari aku.

            Saat pertama kali dia bicara, aku tidak terlalu tertarik dengan apa yang dia katakan. Tetapi hari demi hari laki-laki itu bisa membuka batasan-batasan yang selama ini selalu aku jaga dengan baik atau mungkin secara tidak sadar aku sendiri yang telah membuka batasan-batasan itu. Sampai saat itu, dia menawariku ice cream yang selalu dipesannya dan aku tergoda untuk mencoba; rum raisin chocolate ice cream. Aku merasakan sensasi yang berbeda saat suapan pertama terasa meleleh di dalam mulutku. Aku bisa merasakan rasa yang berbeda dari hanya manis yang biasa menempel di lidahku. Aku lenyapkan apa yang telah menjadi sukaku; vanilla ice cream. Aku akan mencoba rasa yang lain.

            Saat itulah aku mulai percaya pada rasa yang diberikan laki-laki itu, begitu spesial karena dialah yang pertama memberikan rasa yang berbeda. Hingga akhirnya kami berdua berbagi berbagai kisah satu sama lain. Dan kami pun selalu berbagi sekotak rum raisin chocolate ice cream yang selalu menemani waktu kita berbagi kisah. Aku menikmati setiap detik yang berjalan bersamanya dan setiap suapan rum raisin chocolate ice cream yang meleleh menemani dalam mulutku. Seperti dalam sebuah lirik lagu, bagiku itu adalah  “Sekotak memori cinta pertama, begitu nikmat terasa sampai ke hati”. Begitu percayanya aku pada laki-laki penggemar rum raisin chocolate ice cream itu.

            Di siang hari yang sangat terik, dia memintaku pergi ke sebuah tempat dengan alamat yang dia kirimkan lewat SMS. Aku pun setuju tanpa ada rasa curiga dalam benakku. Dalam sadarku, aku tiba di sebuah rumah yang sangat nyaman. Dan saat aku masuk, hanya ada sekotak penuh rum raisin chocolate ice cream yang laki-laki itu sediakan untukku. Akupun duduk dengan penuh senyum menatap sekotak penuh ice cream yang bagiku sangat special. Lalu dia datang dengan dua gelas minuman dingin di tangannya dengan senyuman hangat. Pengobat dahaga yang tepat di tengah terik siang hari.

            Tetapi saat aku meneguk penyegar dahaga itu, setelahnya aku merasa duniaku kabur. Aku tersadar dalam lemas. Aku merasakan terbaring di sebuah sofa tanpa bisa melakukan apa-apa. Aku hanya bisa melihat sesuatu yang menyakitkan, senyuman iblis terkembang saat laki-laki itu melucuti segala apa yang menempel di tubuhku. Aku hanya bisa merasakan laki-laki itu melumat tubuhku dengan lembut sebagaimana dia melumat ice cream. Aku hanya bisa melihat bagaimana laki-laki itu menikmati tubuhku dengan senyum terkembang bangga dari bibirnya. Aku adalah tumbal pengobat dahaga birahi laki-laki itu. Aku lemah, aku hanya bisa terbaring pasrah dengan perlawanan yang sangat dalam hatiku. Aku berteriak dalam mulutku yang membeku. Aku hanya bisa melawan dalam diam hingga laki-laki itu selesai melahap habis kehormatan dan kesucian dari mangsanya.

            Aku terkulai lemas, menyesali telah dengan mudah menyingkap batasan-batasan yang selama ini aku jaga dengan baik. Menyesali telah dengan mudah tergoda untuk merasakan rasa yang lain. Aku melihat sekotak rum raisin chocolate ice cream itu telah meleleh disetubuhi suhu yang begitu panas. Begitupun air mataku yang meleleh karena panas amarah yang sangat dalam hatiku. 

Sejak saat itu akupun bisa merasakan kepercayaanku terhadap rasa yang meleleh lalu menguap di udara tanpa sisa. (Gania)


Eka Ayu Wahyuni

Sang Pemandu (Cerita Prambanan)

Kota Jogja, kota nya. Kota yang penuh dengan sejuta pesonanya yang bisa (selalu bisa) menarikku datang menembus batas yang begitu jauh, hanya untuk menghirup dan menikmati suasana Jogja bersamanya. He attracts my attention from the first sight. Begitupun kota ini. Jogja, kamu. Sama-sama memesona. Dia, Jogja. Sama-sama penuh selaksa makna.

Seseorang laki-laki pemandu keindahan Kota Jogja. Bentuk fisik para petualang dan pecinta alam. Tidak terlalu tinggi, tidak juga terlalu pendek. Nyaris kurus, bentuk muka tirus. Kulit sawo matang. Pandangan tajam. Dua kata saja untuk menggambarkannya “sangat Indonesia” dan aku suka. 
Aku yakin tidak ada yang kebetulan di dunia ini, segalanya sudah tergambar dengan teratur di langit sana. Aku bertemu dengan pemandu ini saat aku sampai di Jogjakarta untuk pertama, kedua, dan ketiga kalinya. Dengan air muka yang nyaris tanpa ekspresi. Lurus. Seperti jalanan di Malioboro. Lurus. 

Sosok laki-laki yang menyelamatkanku saat aku nekat datang ke Jogja seorang diri untuk menghirup pesonanya. Dia sedang dan selalu duduk di depan warung lesehan di ujung persimpangan jalan Malioboro dengan Stasiun Tugu setiap kali aku menjejak malam Kota Jogja. Orang pertama, kedua, dan ketiga yang memanduku menjelajah Jogjakarta. Aku suka. Aku ingin. Lagi dan lagi. Jogja bersamannya. Aku yang memilihnya sebagai pemanduku. Dan dia bersedia. Bersedia karena itu memang tugasnya. Seorang pemandu.

Gemerlap lampu malam di jalanan Malioboro menemani seoarang turis domestik dengan seorang pemandu wisata. Menikmati alunan musik jalanan yang mengalun membuai rasa, menatap deretan pedagang kaki lima yang berebut rupiah dari genggaman dompet para turis, memandang orang-orang bersila menikmati sajian khas yang berselera. 

“Begitu banyak keindahan serta ironi yang disimpan oleh bekas ibu kota negara kita ini. Aku memutuskan untuk hidup dan menjelajah serta membagi keindahan kota ini pada mereka yang berkunjung. Apa yang kau lihat dan kagumi saat ini adalah lukisan abadi yang selalu akan dirindukan bagi siapa saja yang pernah singgah di kota ini.”

“Apakah hanya keindahan yang kau tunjukan pada mereka? Termasuk aku kali ini?”
“Tentu saja. Mereka yang datang kesini hanya ingin menikmati dunia. Mereka menyeret langkah mereka dengan penuh kesenangan. Mereka menghabiskan uang mereka tanpa menyisihkan sedikit saja untuk sesuatu yang akan datang. Mereka menikmati apa yang mereka lihat tanpa harus sulit memikirkan apa yang sebenarnya terjadi di balik itu.”

“Lalu bagaimana dengan ironi? Ironi macam apa yang ada dan hadir dibalik segala realitas keindahan yang kau tunjukkan pada mereka?”

“Kau ini turis macam apa? Sejak pertama, kedua, ketiga kalinya aku memandumu kau selalu saja banyak bertanya. Bukan tugasku untuk menunjukkan sisi kelam dari gemerlap pesona Kota Jogja. Aku seorang pemandu yang hanya bertugas menunjukkan sisi eksotis dari kota ini. Dan kau adalah turis. Kau hanya perlu menikmati citraan-citraan indah ini. Saat kau menjadi turis hidupmu hanya tergantung pada pemandu. Hanya dengarkan dan ikuti!!”
“Bagaimana bisa aku hanya mendengarkan dan mengikuti? Kau hanya bertugas memanduku, bukan menentukan jalanku.”

“Aku tidak pernah berkata bahwa aku yang menentukan jalanmu. Tugasku memandu, aku pemandu. Aku lebih tau mengenai apapun di kota ini. Untuk itu kau menyewaku sebagai pemandu. Kau boleh mengikutiku sebagai petunjuk arah serta jalan yang akan kau tempuh. Atau kau pergi sendiri mengikuti jalanmu tanpa seorang pemandu. Cobalah untuk menjelajah dengan mengikuti langkahmu sendiri tanpa seorang pemandu. Kau akan merasakan kenikmatan yang lebih tanpa harus selalu bergantung pada pemandumu. Kau akan bebas menentukan jalanmu sendiri, kemana tempat yang akan kau kunjungi.”

“Bisakah seorang turis menikmati keindahan tanpa seorang pemandu?”

“Saat kau memutuskan ditemani seorang pemandu, pemandu akan bertanggung jawab penuh untuk memandumu. Aku tidak pernah mendengar kasus ada seorang turis yang ditinggalkan oleh pemandunya. Aku akan selalu memandumu selama kau masih membutuhkanku dalam perjalanan tourism mu. ”

“Bisakah kau memanduku saat aku datang ke kota ini bukan sebagai turis?” 

***
Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgia saat kita sering luangkan waktu 
Nikmati bersama suasana Jogja 

Potongan lirik lagu itu sangat aku. Lirik lagu itu kumpulan album nostalgiaku. Sangat aku. Dia membuat aku terikat dengan kota wisata satu ini. Lagu itu bisa membuatku menyapu lelah hanya untuk kembali dan terus kembali ke kota ini. Saat hatiku mulai sepi dan tak terobati, maka aku akan selalu datang kesini. 

Di persimpangan jalan ini aku berdiri. Menebar pandangan mencari-cari. Aku kembali dan telah berkali-kali kembali untuk menemui. Tetapi pemanduku pergi dan tak pernah kembali. Dia menyisakan satu jawaban yang dia bawa pergi untuk pertanyaanku yang tidak pernah menemukan arti. Walaupun dia tidak pernah kembali, namun kota ini selalu hadirkan sebuah senyum abadi yang selalu membuatku ingin pulang lagi kesini.

Pertanyaan yang selalu terngiang saat kami duduk menikmati angin malam di Jogjakarta. Satu pertanyaan yang berakhir hening. Senyap. Dan akhirnya lenyap. Pertanyaan itu tidak pernah lenyap dari pikiranku. Dia. Sang pemandu yang lenyap dari pandanganku. Cepatlah kembali pemanduku. Aku dan mereka butuh seorang pemandu untuk menikmati gambaran pesona dunia yang hadir di setiap sudut kota ini.
“Bisakah kau memanduku saat aku datang ke kota ini bukan sebagai turis?”

Kali ini aku datang tidak sebagai turis yang butuh panduan untuk menikmati Kota Jogja. Aku tidak butuh dipandu kali ini. Aku jadi pemandu. Aku yang akan memandu jalanku sendiri untuk bisa menemukanmu. Menemukan sang pemandu yang hilang entah bersembunyi di balik batu. Dia selalu jadi panduanku untuk terus berjalan memandu hatiku untuk bisa kembali menikmati suasana Jogja bersamamu.
Pemanduku tunggukulah aku menemukanmu. Aku bisa memandu jalanku sendiri menujumu. Aku bosan terus lara akan kehilanganmu. Aku lelah merintih sendiri di tengah deru kotamu. 

Tunggu aku menemukanmu!!!! Pemanduku.

Ini Bukan Masalah Agama; Ini Adalah Warisan Budaya Dunia


Terlalu banyak hal yang menarik di negara ini. Terlalu banyak hal yang kemudian menjadi terlalu menarik untuk diperbincangkan, dipermasalahkan, akhirnya dijadikan sebuah topik hangat untuk dijadikan wacana luar biasa. Bahkan kegalauan yang sejak dulu hingga saat ini belum juga menguap dari atmosfer jamrud khatulistiwa. Negara kita selalu tampak “galau” dalam berbagai hal. Negara kita kaya tetapi miskin. Negara kita enggan dikatakan sebuah negara muslim, tetapi enggan pula dikatakan negara sekuler. Negara kita kaya, tetapi bertindak seorang yang miskin. Negara kita banyak mengeluarkan uang untuk hal-hal yang tidak perlu, sedangkan di sisi lain banyak sekali hal-hal yang membutuhkan anggran dari pemerintah.

Salah satunya mengenai pemeliharaan situs budaya yang dimiliki Indonesia yang jumlahnya sangat banyak. Negara kita, pemerintah dan rakyatnya selalu berlimpah uang ketika momen-momen tertentu datang. Lihat saja akhir-akhir ini banyak sekali gelaran konser akbar yang mendatangkan artis-artis luar negeri yang  tentu saja membawa serta seni budaya negara asal mereka. Konser-konser akbar selalu bisa membuat ribuan penduduk Indonesia “menggila” memadati sebuah ruang yang hingar bingar dengan teriakan, tanpa memikirkan seberapa mahal tiket yang mereka dapatkan dengan susah payah hingga tetes keringat penghabisan. Mereka yang bisa dengan mudah menukarkan lembaran-lembaran uang dengan satu lembar tiket untuk membayar kesenangan yang mereka dapatkan hanya dalam beberapa jam saja. 

Kemudian lembaran uang yang ditukar tadi akan dinikmati oleh sang promotor, artis berserta managementnya yang tentu saja akan dibawa pulang ke negaranya nun jauh disana. Bisa kita bayangkan berapa banyak lembaran-lembaran uang tersebut? Andai saja lembaran-lembaran rupiah tersebut didonasikan untuk perbaikan sebuah warisan budaya dunia di negara kita yang saat ini sedang “sakit”. Lembaran-lembaran rupiah yang bisa menjadikannya kembali tegak dalam rentang waktu yang lama.

Pemerintah, para elit disana yang selalu “girang” saat harus mengikuti studi banding ke luar negeri dengan membawa serta keluarga. Studi banding tempat wisata dan tempat belanja. Para elit menghabiskan bermiliyar-miliyar uang rupiah untuk melakukan sebuah perjalanan yang entah apa hasilnya. Andai saja miliyaran rupiah tersebut didonasikan untuk perbaikan sebuah warisan budaya dunia di negara kita yang saat ini sedang “sakit”. Maka hasilnya akan bisa terlihat sangat jelas.

Sadarkah bahwa kita seorang Indonesia lebih bisa melirik dan mencintai apa yang orang lain miliki ketimbang apa yang kita miliki? Bagaimana bisa orang lain lebih mencintai apa yang menjadi milik kita? Sedangkan kita bertindak terlalu acuh pada apa yang kita miliki disini. Di Indonesia.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terlontar begitu saja saat melihat sebuah tumpukan batu yang tertata megah di satu sisi, dan di sisi lain masih tertumpuk begitu saja menjadi sisa reruntuhan bekas gempa yang belum sempat diperbaiki. Salah satu warisan budaya dunia yang ada di negara kita runtuh terkena goncangan dan ledakan Merapi. Candi Prambanan saat ini sedang dalam proses “pemulihan”. Sisa reruntuhan belum bisa diperbaiki dengan sempurna dan hingga saat ini belum juga rampung. Saat ini Candi Prambanan ibarat seorang yang terjatuh dengan tulang-tulang tubuh yang patah. Butuh diperbaiki. Butuh uang untuk memperbaiki, untuk kembali tegak berdiri.

Selama mendengarkan dan memperhatikan penjelasan dari seorang pemandu yang menjelaskan sejarah Candi Prambanan hingga akhirnya runtuh akibat gempa dan letusan gunung Merapi, yang menarik perhatian adalah masalah pendanaan untuk proses recovery Prambanan yang hingga saat ini masih dijalankan. Bukan sesuatu yang aneh ketika mendengar bahwa dana pemugaran ini didapat dari bantuan anggaran UNESCO yang bisa dikatakan merupakan pihak luar. Mungkin bukan suatu yang mengherankan ketika pihak “luar” lebih gesit dalam memelihara harta Indonesia ini, karena pada dasarnya merekalah yang bisa menemukan kembali Candi Prambanan kemudian memugarnya secara bertahap. Seperti menjadi sebuah tradisi yang tidak pernah disadari bahwa apa yang ada di negara kita, ditemukan, dipelihara, dan mungkin saja dinikmati oleh pihak luar.

Ketika mendengar bahwa pendanaan di dapat dari UNESCO, sebuah pertanyaan yang paling mendasar muncul lalu bagaimana pendanaan dari pemerintah kita sendiri? Dengan tetap bersemangat menjelaskan sang pemandu berkata dengan redaksi yang kurang lebih seperti ini “Indonesia adalah sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama muslim, sedangkan Prambanan adalah sebuah candi Hindu. Jadi pemerintah tidak terlalu memberikan perhatian.” Sebuah jawaban yang tidak diharapkan tetapi mencengangkan. Pertanyaan selanjutnya muncul “benarkah wacana agama yang menjadi alasan?”

Secara rasional ketika mayoritas Indonesia beagama muslim, maka pengunjung yang datang ke Prambanan pun akan mayoritas yang beragama muslim. Itu sangat menunjukkan bahwa para pengunjung tidak memikirkan apakah ini candi Hindu atau bukan, tetapi kemudian bahwa ini sebuah warisan budaya dunia yang patut dikagumi, dibanggakan, dan dipelihara. Apalagi ketika hal ini menyangkut pemerintah, rasanya terlalu naif apabila pemerintah tidak terlalu memperhatikan sebuah warisan budaya dunia, sebuah aset wisata yang bisa memberikan pemasukan bagi kas negara dari hasil pariwisatanya hanya karena isu agama. Indonesia adalah negara yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Hal itu sudah sangat jelas tercantum dalam UUD RI Tahun 1945 pasal 29 ayat 2.

Mungkinkah pemerintah bertindak pilih kasih ketika pemerintah memberikan kebebasan beragama, tetapi kemudian pemerintah bertindak pilih kasih terhadap satu agama saja sehingga tidak memperhatikan segala sesuatu yang berhubungan dengan agama yang lainnya? Mungkin saja wacana agama yang dihadirkan oleh sang pemandu tadi hanya sebuah pandangan personal terhadap sebuah masalah yang dihadapi dalam proses recovery Prambanan.

Bahkan ada sebuah wacana yang tidak kalah menarik muncul saat melihat sebuah bangunan mesjid yang berdiri megah di seberang pagar paling luar Candi Prambanan. Mesjid yang digadang-gadang dibangun dengan biaya miliyaran rupiah ini merupakan bangunan “tandingan” dari Candi Prambanan. Lagi-lagi benarkah seperti itu?

Rasanya kurang pas mewacanakan isu agama atau persaingan antar agama dalam masalah pendanaan perbaikan Candi Prambanan. Candi Prambanan adalah sebuah situs warisan budaya dunia yang memiliki nilai historis yang sangat tinggi. Sebuah situs peninggalan yang tidak bisa di nilai dengan harga ataupun dibandingkan dengan bangunan megah lainnya yang dibangun tanpa sebuah nilai historis di dalamnya. Pembangunan sebuah mesjid yang memakan biaya sangat besar yang dibangun tepat diseberang Candi Prambanan jangan dijadikan sebuah pemicu munculnya konflik.

Kita tidak pernah tahu apa sebenarnya maksud dari pendirian mesjid megah tersebut, tetapi mari kita belajar berbaik sangka terhadap kenyataan tersebut. Mungkin saja sang pendiri ingin mengingatkan bahwa selain kita berkunjung ke Candi Prambanan untuk mempelajari sebuah situs peninggalan masa lalu, kita juga harus senantiasa mengingat Tuhan yang telah memperlihatkan kebesarannya melalui sebuah bangunan candi cantik yang hingga saat ini masih berdiri. Di sisi lain kita akan sangat diuntungkan dengan pencintraan bahwa negara kita Indonesia selain kaya akan situs budaya, ternyata kaya akan materi (uang) karena bisa membangun sebuah mesjid megah yang dibangun dengan dana miliyaran rupiah.

Tetapi yang menjadi penting dari masalah ini adalah apa yang bisa dilakukan oleh kita sebagai Indonesia, pemerintah dan rakyatnya untuk memelihara dan merasa bangga akan apa yang kita miliki? Apakah pemerintah kita kekurangan anggaran untuk pemeliharaan situs budaya? Atau memang negara kita tidak merasa penting situs-situs budaya yang ada untuk dipelihara? Apakah pemerintah akan terus mengandalkan bantuan dari pihak luar untuk memperbaiki semua peninggalan warisan budaya yang ada di Indonesia? Bisakah rakyat lebih peduli akan apa yang kita miliki?

Haruskah kita memaksa pemerintah untuk mengeluarkan uangnya demi kesembuhan Prambanan? Haruskah kita berkoar-koar bahwa Prambanan butuh uang? Haruskah masyarakat di sekitar Prambanan menyediakan sebuah jaring besar dan berdiam diri di tengah jalan meminta sumbangan dari setiap kendaraan yang lewat agar bisa segera memperbaiki Prambanan? Sebenarnya ini tidak hanya mengenai Prambanan, ini mengenai semua warisan serta peninggalan budaya di Indonesia. Negara kita kaya akan ragam budaya, tetapi kita, pemerintah dan rakyatnya tidak memberikan perhatian penuh terhadap segala kekayaan yang kita punya.

Kita harus mengembalikan kesadaran kita, sadarlah bahwa ini milik kita. Kita yang lebih berhak dan wajib untuk melakukan sesuatu. Lekaskah bertindak dewasa, bahwa ini milik kita. Berlakulah dengan baik pada apa yang negara kita miliki. Jangan hanya menikmati saat apa yang kita miliki itu memberikan sebuah keuntungn besar. Kemudian bertindak acuh saat apa yang kita miliki membutuhkan sebuah pertolongan.

Apa yang dituliskan merupakan sebuah tindakan ideal, sebuah tindakan yang seharusnya. Mungkin akan banyak orang yang beranggapan bahwa sangat sulit bertindak ideal, tetapi bukankah kita memang harus bertindak sesuai dengan yang seharusnya? Marilah kita belajar untuk bertindak dan berlaku seharusnya pada warisan budaya yang kita punya.

Ini bukan masalah agama, ini adalah warisan budaya dunia. Prambanan masih menunggu untuk kembali tegak menantang langit. Menunggu tindakan pasti dari kita Indonesia. Karena Prambanan milik Indonesia yang di akui oleh dunia. Jadilah yang paling cepat bertindak untuk memperbaiki apa yang kita miliki. Jangan hanya menunggu uluran tangan dunia luar.

Ini bukan masalah agama, ini adalah warisan budaya dunia. Candi Prambanan, bangunan cantik milik Indonesia yang masih setia menunggu untuk memulihkan kecantikannya. Masih menunggu tindakan pasti dari para pemiliknya.




 

Kay Aydiia Copyright © 2012 - |- Design template by Zakii Aydia