Kontak




Ini Bukan Masalah Agama; Ini Adalah Warisan Budaya Dunia


Terlalu banyak hal yang menarik di negara ini. Terlalu banyak hal yang kemudian menjadi terlalu menarik untuk diperbincangkan, dipermasalahkan, akhirnya dijadikan sebuah topik hangat untuk dijadikan wacana luar biasa. Bahkan kegalauan yang sejak dulu hingga saat ini belum juga menguap dari atmosfer jamrud khatulistiwa. Negara kita selalu tampak “galau” dalam berbagai hal. Negara kita kaya tetapi miskin. Negara kita enggan dikatakan sebuah negara muslim, tetapi enggan pula dikatakan negara sekuler. Negara kita kaya, tetapi bertindak seorang yang miskin. Negara kita banyak mengeluarkan uang untuk hal-hal yang tidak perlu, sedangkan di sisi lain banyak sekali hal-hal yang membutuhkan anggran dari pemerintah.

Salah satunya mengenai pemeliharaan situs budaya yang dimiliki Indonesia yang jumlahnya sangat banyak. Negara kita, pemerintah dan rakyatnya selalu berlimpah uang ketika momen-momen tertentu datang. Lihat saja akhir-akhir ini banyak sekali gelaran konser akbar yang mendatangkan artis-artis luar negeri yang  tentu saja membawa serta seni budaya negara asal mereka. Konser-konser akbar selalu bisa membuat ribuan penduduk Indonesia “menggila” memadati sebuah ruang yang hingar bingar dengan teriakan, tanpa memikirkan seberapa mahal tiket yang mereka dapatkan dengan susah payah hingga tetes keringat penghabisan. Mereka yang bisa dengan mudah menukarkan lembaran-lembaran uang dengan satu lembar tiket untuk membayar kesenangan yang mereka dapatkan hanya dalam beberapa jam saja. 

Kemudian lembaran uang yang ditukar tadi akan dinikmati oleh sang promotor, artis berserta managementnya yang tentu saja akan dibawa pulang ke negaranya nun jauh disana. Bisa kita bayangkan berapa banyak lembaran-lembaran uang tersebut? Andai saja lembaran-lembaran rupiah tersebut didonasikan untuk perbaikan sebuah warisan budaya dunia di negara kita yang saat ini sedang “sakit”. Lembaran-lembaran rupiah yang bisa menjadikannya kembali tegak dalam rentang waktu yang lama.

Pemerintah, para elit disana yang selalu “girang” saat harus mengikuti studi banding ke luar negeri dengan membawa serta keluarga. Studi banding tempat wisata dan tempat belanja. Para elit menghabiskan bermiliyar-miliyar uang rupiah untuk melakukan sebuah perjalanan yang entah apa hasilnya. Andai saja miliyaran rupiah tersebut didonasikan untuk perbaikan sebuah warisan budaya dunia di negara kita yang saat ini sedang “sakit”. Maka hasilnya akan bisa terlihat sangat jelas.

Sadarkah bahwa kita seorang Indonesia lebih bisa melirik dan mencintai apa yang orang lain miliki ketimbang apa yang kita miliki? Bagaimana bisa orang lain lebih mencintai apa yang menjadi milik kita? Sedangkan kita bertindak terlalu acuh pada apa yang kita miliki disini. Di Indonesia.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terlontar begitu saja saat melihat sebuah tumpukan batu yang tertata megah di satu sisi, dan di sisi lain masih tertumpuk begitu saja menjadi sisa reruntuhan bekas gempa yang belum sempat diperbaiki. Salah satu warisan budaya dunia yang ada di negara kita runtuh terkena goncangan dan ledakan Merapi. Candi Prambanan saat ini sedang dalam proses “pemulihan”. Sisa reruntuhan belum bisa diperbaiki dengan sempurna dan hingga saat ini belum juga rampung. Saat ini Candi Prambanan ibarat seorang yang terjatuh dengan tulang-tulang tubuh yang patah. Butuh diperbaiki. Butuh uang untuk memperbaiki, untuk kembali tegak berdiri.

Selama mendengarkan dan memperhatikan penjelasan dari seorang pemandu yang menjelaskan sejarah Candi Prambanan hingga akhirnya runtuh akibat gempa dan letusan gunung Merapi, yang menarik perhatian adalah masalah pendanaan untuk proses recovery Prambanan yang hingga saat ini masih dijalankan. Bukan sesuatu yang aneh ketika mendengar bahwa dana pemugaran ini didapat dari bantuan anggaran UNESCO yang bisa dikatakan merupakan pihak luar. Mungkin bukan suatu yang mengherankan ketika pihak “luar” lebih gesit dalam memelihara harta Indonesia ini, karena pada dasarnya merekalah yang bisa menemukan kembali Candi Prambanan kemudian memugarnya secara bertahap. Seperti menjadi sebuah tradisi yang tidak pernah disadari bahwa apa yang ada di negara kita, ditemukan, dipelihara, dan mungkin saja dinikmati oleh pihak luar.

Ketika mendengar bahwa pendanaan di dapat dari UNESCO, sebuah pertanyaan yang paling mendasar muncul lalu bagaimana pendanaan dari pemerintah kita sendiri? Dengan tetap bersemangat menjelaskan sang pemandu berkata dengan redaksi yang kurang lebih seperti ini “Indonesia adalah sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama muslim, sedangkan Prambanan adalah sebuah candi Hindu. Jadi pemerintah tidak terlalu memberikan perhatian.” Sebuah jawaban yang tidak diharapkan tetapi mencengangkan. Pertanyaan selanjutnya muncul “benarkah wacana agama yang menjadi alasan?”

Secara rasional ketika mayoritas Indonesia beagama muslim, maka pengunjung yang datang ke Prambanan pun akan mayoritas yang beragama muslim. Itu sangat menunjukkan bahwa para pengunjung tidak memikirkan apakah ini candi Hindu atau bukan, tetapi kemudian bahwa ini sebuah warisan budaya dunia yang patut dikagumi, dibanggakan, dan dipelihara. Apalagi ketika hal ini menyangkut pemerintah, rasanya terlalu naif apabila pemerintah tidak terlalu memperhatikan sebuah warisan budaya dunia, sebuah aset wisata yang bisa memberikan pemasukan bagi kas negara dari hasil pariwisatanya hanya karena isu agama. Indonesia adalah negara yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Hal itu sudah sangat jelas tercantum dalam UUD RI Tahun 1945 pasal 29 ayat 2.

Mungkinkah pemerintah bertindak pilih kasih ketika pemerintah memberikan kebebasan beragama, tetapi kemudian pemerintah bertindak pilih kasih terhadap satu agama saja sehingga tidak memperhatikan segala sesuatu yang berhubungan dengan agama yang lainnya? Mungkin saja wacana agama yang dihadirkan oleh sang pemandu tadi hanya sebuah pandangan personal terhadap sebuah masalah yang dihadapi dalam proses recovery Prambanan.

Bahkan ada sebuah wacana yang tidak kalah menarik muncul saat melihat sebuah bangunan mesjid yang berdiri megah di seberang pagar paling luar Candi Prambanan. Mesjid yang digadang-gadang dibangun dengan biaya miliyaran rupiah ini merupakan bangunan “tandingan” dari Candi Prambanan. Lagi-lagi benarkah seperti itu?

Rasanya kurang pas mewacanakan isu agama atau persaingan antar agama dalam masalah pendanaan perbaikan Candi Prambanan. Candi Prambanan adalah sebuah situs warisan budaya dunia yang memiliki nilai historis yang sangat tinggi. Sebuah situs peninggalan yang tidak bisa di nilai dengan harga ataupun dibandingkan dengan bangunan megah lainnya yang dibangun tanpa sebuah nilai historis di dalamnya. Pembangunan sebuah mesjid yang memakan biaya sangat besar yang dibangun tepat diseberang Candi Prambanan jangan dijadikan sebuah pemicu munculnya konflik.

Kita tidak pernah tahu apa sebenarnya maksud dari pendirian mesjid megah tersebut, tetapi mari kita belajar berbaik sangka terhadap kenyataan tersebut. Mungkin saja sang pendiri ingin mengingatkan bahwa selain kita berkunjung ke Candi Prambanan untuk mempelajari sebuah situs peninggalan masa lalu, kita juga harus senantiasa mengingat Tuhan yang telah memperlihatkan kebesarannya melalui sebuah bangunan candi cantik yang hingga saat ini masih berdiri. Di sisi lain kita akan sangat diuntungkan dengan pencintraan bahwa negara kita Indonesia selain kaya akan situs budaya, ternyata kaya akan materi (uang) karena bisa membangun sebuah mesjid megah yang dibangun dengan dana miliyaran rupiah.

Tetapi yang menjadi penting dari masalah ini adalah apa yang bisa dilakukan oleh kita sebagai Indonesia, pemerintah dan rakyatnya untuk memelihara dan merasa bangga akan apa yang kita miliki? Apakah pemerintah kita kekurangan anggaran untuk pemeliharaan situs budaya? Atau memang negara kita tidak merasa penting situs-situs budaya yang ada untuk dipelihara? Apakah pemerintah akan terus mengandalkan bantuan dari pihak luar untuk memperbaiki semua peninggalan warisan budaya yang ada di Indonesia? Bisakah rakyat lebih peduli akan apa yang kita miliki?

Haruskah kita memaksa pemerintah untuk mengeluarkan uangnya demi kesembuhan Prambanan? Haruskah kita berkoar-koar bahwa Prambanan butuh uang? Haruskah masyarakat di sekitar Prambanan menyediakan sebuah jaring besar dan berdiam diri di tengah jalan meminta sumbangan dari setiap kendaraan yang lewat agar bisa segera memperbaiki Prambanan? Sebenarnya ini tidak hanya mengenai Prambanan, ini mengenai semua warisan serta peninggalan budaya di Indonesia. Negara kita kaya akan ragam budaya, tetapi kita, pemerintah dan rakyatnya tidak memberikan perhatian penuh terhadap segala kekayaan yang kita punya.

Kita harus mengembalikan kesadaran kita, sadarlah bahwa ini milik kita. Kita yang lebih berhak dan wajib untuk melakukan sesuatu. Lekaskah bertindak dewasa, bahwa ini milik kita. Berlakulah dengan baik pada apa yang negara kita miliki. Jangan hanya menikmati saat apa yang kita miliki itu memberikan sebuah keuntungn besar. Kemudian bertindak acuh saat apa yang kita miliki membutuhkan sebuah pertolongan.

Apa yang dituliskan merupakan sebuah tindakan ideal, sebuah tindakan yang seharusnya. Mungkin akan banyak orang yang beranggapan bahwa sangat sulit bertindak ideal, tetapi bukankah kita memang harus bertindak sesuai dengan yang seharusnya? Marilah kita belajar untuk bertindak dan berlaku seharusnya pada warisan budaya yang kita punya.

Ini bukan masalah agama, ini adalah warisan budaya dunia. Prambanan masih menunggu untuk kembali tegak menantang langit. Menunggu tindakan pasti dari kita Indonesia. Karena Prambanan milik Indonesia yang di akui oleh dunia. Jadilah yang paling cepat bertindak untuk memperbaiki apa yang kita miliki. Jangan hanya menunggu uluran tangan dunia luar.

Ini bukan masalah agama, ini adalah warisan budaya dunia. Candi Prambanan, bangunan cantik milik Indonesia yang masih setia menunggu untuk memulihkan kecantikannya. Masih menunggu tindakan pasti dari para pemiliknya.




2 komentar:

 

Kay Aydiia Copyright © 2012 - |- Design template by Zakii Aydia