Kontak




Sang Pemandu (Cerita Prambanan)

Kota Jogja, kota nya. Kota yang penuh dengan sejuta pesonanya yang bisa (selalu bisa) menarikku datang menembus batas yang begitu jauh, hanya untuk menghirup dan menikmati suasana Jogja bersamanya. He attracts my attention from the first sight. Begitupun kota ini. Jogja, kamu. Sama-sama memesona. Dia, Jogja. Sama-sama penuh selaksa makna.

Seseorang laki-laki pemandu keindahan Kota Jogja. Bentuk fisik para petualang dan pecinta alam. Tidak terlalu tinggi, tidak juga terlalu pendek. Nyaris kurus, bentuk muka tirus. Kulit sawo matang. Pandangan tajam. Dua kata saja untuk menggambarkannya “sangat Indonesia” dan aku suka. 
Aku yakin tidak ada yang kebetulan di dunia ini, segalanya sudah tergambar dengan teratur di langit sana. Aku bertemu dengan pemandu ini saat aku sampai di Jogjakarta untuk pertama, kedua, dan ketiga kalinya. Dengan air muka yang nyaris tanpa ekspresi. Lurus. Seperti jalanan di Malioboro. Lurus. 

Sosok laki-laki yang menyelamatkanku saat aku nekat datang ke Jogja seorang diri untuk menghirup pesonanya. Dia sedang dan selalu duduk di depan warung lesehan di ujung persimpangan jalan Malioboro dengan Stasiun Tugu setiap kali aku menjejak malam Kota Jogja. Orang pertama, kedua, dan ketiga yang memanduku menjelajah Jogjakarta. Aku suka. Aku ingin. Lagi dan lagi. Jogja bersamannya. Aku yang memilihnya sebagai pemanduku. Dan dia bersedia. Bersedia karena itu memang tugasnya. Seorang pemandu.

Gemerlap lampu malam di jalanan Malioboro menemani seoarang turis domestik dengan seorang pemandu wisata. Menikmati alunan musik jalanan yang mengalun membuai rasa, menatap deretan pedagang kaki lima yang berebut rupiah dari genggaman dompet para turis, memandang orang-orang bersila menikmati sajian khas yang berselera. 

“Begitu banyak keindahan serta ironi yang disimpan oleh bekas ibu kota negara kita ini. Aku memutuskan untuk hidup dan menjelajah serta membagi keindahan kota ini pada mereka yang berkunjung. Apa yang kau lihat dan kagumi saat ini adalah lukisan abadi yang selalu akan dirindukan bagi siapa saja yang pernah singgah di kota ini.”

“Apakah hanya keindahan yang kau tunjukan pada mereka? Termasuk aku kali ini?”
“Tentu saja. Mereka yang datang kesini hanya ingin menikmati dunia. Mereka menyeret langkah mereka dengan penuh kesenangan. Mereka menghabiskan uang mereka tanpa menyisihkan sedikit saja untuk sesuatu yang akan datang. Mereka menikmati apa yang mereka lihat tanpa harus sulit memikirkan apa yang sebenarnya terjadi di balik itu.”

“Lalu bagaimana dengan ironi? Ironi macam apa yang ada dan hadir dibalik segala realitas keindahan yang kau tunjukkan pada mereka?”

“Kau ini turis macam apa? Sejak pertama, kedua, ketiga kalinya aku memandumu kau selalu saja banyak bertanya. Bukan tugasku untuk menunjukkan sisi kelam dari gemerlap pesona Kota Jogja. Aku seorang pemandu yang hanya bertugas menunjukkan sisi eksotis dari kota ini. Dan kau adalah turis. Kau hanya perlu menikmati citraan-citraan indah ini. Saat kau menjadi turis hidupmu hanya tergantung pada pemandu. Hanya dengarkan dan ikuti!!”
“Bagaimana bisa aku hanya mendengarkan dan mengikuti? Kau hanya bertugas memanduku, bukan menentukan jalanku.”

“Aku tidak pernah berkata bahwa aku yang menentukan jalanmu. Tugasku memandu, aku pemandu. Aku lebih tau mengenai apapun di kota ini. Untuk itu kau menyewaku sebagai pemandu. Kau boleh mengikutiku sebagai petunjuk arah serta jalan yang akan kau tempuh. Atau kau pergi sendiri mengikuti jalanmu tanpa seorang pemandu. Cobalah untuk menjelajah dengan mengikuti langkahmu sendiri tanpa seorang pemandu. Kau akan merasakan kenikmatan yang lebih tanpa harus selalu bergantung pada pemandumu. Kau akan bebas menentukan jalanmu sendiri, kemana tempat yang akan kau kunjungi.”

“Bisakah seorang turis menikmati keindahan tanpa seorang pemandu?”

“Saat kau memutuskan ditemani seorang pemandu, pemandu akan bertanggung jawab penuh untuk memandumu. Aku tidak pernah mendengar kasus ada seorang turis yang ditinggalkan oleh pemandunya. Aku akan selalu memandumu selama kau masih membutuhkanku dalam perjalanan tourism mu. ”

“Bisakah kau memanduku saat aku datang ke kota ini bukan sebagai turis?” 

***
Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgia saat kita sering luangkan waktu 
Nikmati bersama suasana Jogja 

Potongan lirik lagu itu sangat aku. Lirik lagu itu kumpulan album nostalgiaku. Sangat aku. Dia membuat aku terikat dengan kota wisata satu ini. Lagu itu bisa membuatku menyapu lelah hanya untuk kembali dan terus kembali ke kota ini. Saat hatiku mulai sepi dan tak terobati, maka aku akan selalu datang kesini. 

Di persimpangan jalan ini aku berdiri. Menebar pandangan mencari-cari. Aku kembali dan telah berkali-kali kembali untuk menemui. Tetapi pemanduku pergi dan tak pernah kembali. Dia menyisakan satu jawaban yang dia bawa pergi untuk pertanyaanku yang tidak pernah menemukan arti. Walaupun dia tidak pernah kembali, namun kota ini selalu hadirkan sebuah senyum abadi yang selalu membuatku ingin pulang lagi kesini.

Pertanyaan yang selalu terngiang saat kami duduk menikmati angin malam di Jogjakarta. Satu pertanyaan yang berakhir hening. Senyap. Dan akhirnya lenyap. Pertanyaan itu tidak pernah lenyap dari pikiranku. Dia. Sang pemandu yang lenyap dari pandanganku. Cepatlah kembali pemanduku. Aku dan mereka butuh seorang pemandu untuk menikmati gambaran pesona dunia yang hadir di setiap sudut kota ini.
“Bisakah kau memanduku saat aku datang ke kota ini bukan sebagai turis?”

Kali ini aku datang tidak sebagai turis yang butuh panduan untuk menikmati Kota Jogja. Aku tidak butuh dipandu kali ini. Aku jadi pemandu. Aku yang akan memandu jalanku sendiri untuk bisa menemukanmu. Menemukan sang pemandu yang hilang entah bersembunyi di balik batu. Dia selalu jadi panduanku untuk terus berjalan memandu hatiku untuk bisa kembali menikmati suasana Jogja bersamamu.
Pemanduku tunggukulah aku menemukanmu. Aku bisa memandu jalanku sendiri menujumu. Aku bosan terus lara akan kehilanganmu. Aku lelah merintih sendiri di tengah deru kotamu. 

Tunggu aku menemukanmu!!!! Pemanduku.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kay Aydiia Copyright © 2012 - |- Design template by Zakii Aydia